Wednesday, February 25, 2009

Punnovada Sutta

(sutta ke 145 dari Majjhima Nikaya)
Ajaran untuk Selalu Berpikir Positif


Sutta dibuka demikian :

[SUTTA] :
"Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu kesempatan Yang Terberkahi sedang berdiam di

Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika." Pada sore hari itu, Yang Arya Punna bangkit dari

meditasinya dan memohon wejangan Dhamma singkat dari Sang Buddha, karena setelahnya beliau

akan mengasingkan diri, berlatih dengan rajin dan hati yang teguh. Sang Buddha kemudian

memberikan wejangan demikian.



[SUTTA] :
"Punna, ada bentuk-bentuk yang ditangkap oleh mata, [kemudia] diharapkan, diingini, dapat

dirasakan cocok [dengannya] [agreeable], dapat disukai, [lalu] bersinggungan dengan hawa nafsu

keinginan serta bujukan nafsu. Jika seorang Bhikkhu menyukainya, membiarkan [perasaan itu]

terjadi (welcomes them), serta membiarkan melekat padanya, perasaan senang [akan hal tersebut]

timbul dalam dirinya. Dengan timbulnya kesenangan tersebut, maka timbul [pula] penderitaan,

[demikianlah] yang Kukatakan."

Kemudian Sang Buddha mengulangi nasehat yang sama untuk telinga dengan obyek suara, hidung

dengan obyek bebauan dan lain sebagainya. Sang Buddha menjelaskan juga bahwa dengan

lenyapnya keinginan maka di sana pulalah lenyapnya penderitaan.

[SUTTA] :
"Jika seorang Bhikkhu tidak merasa suka padanya, tidak membiarkan [perasaan itu] terjadi, dan

tidak melekat padanya, [maka] musnahlah perasaan senang [akan hal tersebut]. Dengan musnahnya

perasaan senang [akan hal tersebut] musnah pula penderitaan, [demikianlah] yang Kukatakan."

Sang Buddha lalu menanyakan ke negeri manakah Yang Arya Punna hendak mengasingkan diri ke

Negeri Sunaparanta. Sang Buddha mengingatkan bahwa penduduk negeri tersebut amat

mengerikan dan kasar, serta menanyakan apakah yang akan terjadi bila mereka mencaci maki dan

mengancam Yang Arya Punna. Punna memberikan jawaban yang bagus untuk diteladani.

[SUTTA]
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta mengancam dan mencaci makiku, maka aku akan berpikir

[demikian] : "Warga Sunaparanta ini [memang] luar biasa, benar-benar luar biasa, mereka tidak

meninjuku. "Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang terberkahi, aku seharusnya berpikir

demikian, Yang Mulia.
"Namun, Punna, Jika warg Sunaparanta benar-benar meninjumu, maka apa yang akan pikirkan

kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjuku, maka aku seharusnya berpikir

[demikian] : "Waga Sunaparanta ini memang luar biasa, benar-benar luar biasa, karena mereka

tidak melempariku dengan segumpal tanah. "Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang

Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar melemparimu dengan tanah, maka apa yang

akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar melempariku dengan tanah, maka aku

seharusnya berpikir [demikina] :"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa, benar-benar luar

biasa, karena mereka tidak memukulku dengan tongkat," Maka aku seharusnya berpikir demikian,

Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulmu dengan tongkat, maka apa yang

akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulku dengan tongkat, maka aku

seharusnya berpikir [demikian] :"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa, benar-benar luar

biasa, karena mereka tidak menusukku dengan pisau." Maka aku seharusnya berpikir demikian,

Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukmu dengan pisau, maka apa yang

akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukku dengan pisau,maka aku seharusnya

berpikir [demikian]: "Warga Sunaparanta ini memang luar biasa, benar-benar luar biasa, karena

mereka belum membunuhku dengan pisau tajam." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang

Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhmu dengan pisau tajam, maka apa

yang engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhku dengan pisau tajam, maka aku

seharusnya berpikir demikian : "Telah ada murid-murid Yang Terberkahi yang jijik, direndahkan, dan

muak, dengan tubuh dan kehidupan, telah berharap agar dibunuh. Namun aku telah mengalami

pembunuhan ini tanpa mencarinya." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku

seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."

"Bagus, Bagus, Punna! Engkau memiliki pengendalian diri dan kedamaian, engkau akan sanggup

berdiam di Negeri Sunaparanta. Kini, Punna, saatnya untuk melakukan, apa yang engkau rasa

baik."

Lalu berangkatlah Punna ke negeri tersebut, dan ia berhasil membawa masing-masing 500 orang

penganut awam pria dan 500 penganut awam wanita ke dalam Dhamma serta ia sendiri mencapai

Nibbana.

No comments:

Post a Comment